Header Ads

Yogyakarta Serambi Madinah

Oleh: Eko Mardiono

Haruskah predikat Yogyakarta sebagai serambi Madinah diikuti dengan Peraturan Daerah (Perda)? Pertanyaan krusial ini mengemuka setelah ditandatanganinya kesepakatan antara pihak Keraton dan Kanwil Departemen Agama Provinsi DIY pada 28 September 2009 yang lalu. Ketika itu, kedua belah pihak sepakat untuk secara bersama-sama menjadikan Yogyakarta sebagai Serambi Madinah.

Sebenarnya jawaban dari pertanyaan di atas sudah tergambar jelas dalam sikap Sri Sultan Hamengku Buwono X. Sri Sultan mengapresiasi positif predikat tersebut. Namun, Beliau menolak jika predikat itu harus diikuti dengan Perda. Apalagi, bila disertai penerapan syariah Islam sebagaimana di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Penegasan Sultan ini merupakan tengara jelas bagi siapa pun dan pihak mana pun. Bahwa, predikat kota Yogyakarta itu sebatas pada adanya kesamaan semangat perjuangan dan kesejarahan antara Madinah dan Yogyakarta, sehingga tidak perlu dimaknai dan diterjemahkan dalam konteks keagamaan (KR, 01/02/10).

Bagaimana sebenarnya wacana Islam memandang permasalahan ini? Membahas persoalan ini menjadi begitu urgen karena di kalangan umat Islam sendiri terdapat tiga aliran. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian sekuler. Islam bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan. Menurut aliran ini, Islam adalah satu agama yang sempurna yang mencakup segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh-tokoh utama aliran ini antara lain syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan Maulana Abu A’la al-Maududi.

Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler. Ajarannya tidak ada hubungannya dengan urusan keduniaan. Menurut aliran ini, nabi Muhammad adalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya. Ia hanya bertugas mengajak umat manusia untuk kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Nabi dalam pandangan aliran ini tidak dimaksudkan untuk mendirikan negara dan menjadi kepala negaranya. Tokoh-tokoh terkemuka aliran ini antara lain Ali Abd al-Raziq dan Dr. Thaha Husein.

Aliran ketiga, yaitu suatu aliran yang menolak pemahaman bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan detail. Menurut aliran ini, dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan. Namun demikian, aliran ini juga menolak suatu anggapan, bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Penciptanya. Aliran ini berpendirian, dalam Islam memang tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi di dalamnya terdapat seperangkat nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh-tokoh aliran ini adalah Dr. Mohammad Husein Haikal.

Pertanyaannya sekarang adalah aliran mana yang tepat dipilih untuk menjawab tentang perlu tidaknya pengikutan sebuah Perda pasca disepakatinya Yogyakarta sebagai Serambi Madinah? Sudah banyak pakar yang melakukan kajian tentang itu. Ternyata, setelah memperhatikan kelemahan-kelemahan mendasar pada dua aliran pertama, kiranya dapat disimpulkan bahwa aliran ketiga lah yang tepat untuk dipilih. Yaitu, suatu aliran yang berpendirian bahwa dalam hal ketatanegaraan, Islam hanya menentukan seperangkat prinsip dan tata nilai-etika seperti yang tertuang dalam Alquran. Adapun penerapannya dilaksanakan dengan tetap memperhatikan perbedaan situasi dan kondisi antara satu zaman dengan zaman lainnya dan antara satu budaya dengan budaya lainnya.

Lantas, haruskah implementasinya diwujudkan dalam bentuk formal berupa Perda? Ada dua teori, formalistik dan substantif. Teori pertama mengajarkan bahwa implementasi ajaran agama harus mempunyai label formal. Sedangkan, teori kedua menentukan bahwa yang terpenting adalah terimplemtasikannya substansi dari suatu ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Ada peristiwa sejarah yang bagus digunakan untuk mengurai persoalan ini. Yaitu, peristiwa perumusan perjanjian Hudaibiyah. Sebuah perjanjian yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW dari Madinah dan suku Quraisy dari Mekah. Dalam catatan sejarah ini tampak bahwa Nabi SAW lebih mementingkan substansi daripada aspek label formal.

Sewaktu merumuskan naskah perjanjian Hudaibiyah, Nabi SAW menerima baik keberatan-keberatan yang diajukan oleh utusan suku Quraisy, Suhail bin Amr. Sebaliknya, Suhail tetap tidak pernah mau bergeser dari posisinya. Sebagai awal perjanjian, Nabi memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan: “Dengan nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”, Suhail memotongnya dengan mengatakan bahwa ia tidak mengenal sifat-sifat “Maha Pengasih dan Maha Penyayang” itu, dan dia minta supaya diganti menjadi: “Dengan nama-Mu ya Tuhan”, dan Nabi pun memerintahkan Ali untuk mengikuti keinginan Suhail.

Ketika Nabi meminta Ali untuk menulis: “Berikut ini adalah naskah perjanjian yang dicapai oleh Muhammad utusan Allah dan Suhail bin Amr”, Suhail juga memotongnya dengan mengatakan bahwa kalau ia terima atau percaya bahwa Beliau adalah utusan Allah, maka ia tidak akan memusuhinya, dan dia minta agar kata-kata “Muhammad utusan Allah” diganti dengan “Muhammad anak Abdullah”. Nabi SAW pun meminta Ali untuk menulis sesuai dengan yang dikehendaki oleh Suhail.

Dari catatan sejarah ini tampak jelas bahwa Nabi SAW lebih mementingkan substansi untuk mengimplementasikan suatu prinsip dan tata nilai-etika daripada memperoleh aspek label formalnya. Piagam Madinah sendiri yang oleh banyak pakar dinyatakan sebagai konstitusi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara membangun peradaban yang egaliter. Piagam itu mengatur tentang hubungan antarsesama anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas Islam dengan anggota komunitas-komunitas lainnya. Hubungan tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip: bertetangga secara baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan bertoleransi dalam kehidupan beragama. Semoga bermanfaat.
Pernah dimuat dalam
SKH Kedaulatan Rakyat
Jumat, 05 Februari 2010
Diberdayakan oleh Blogger.