Peraturan Nikah Sirri Akan Kembali ke Belakang?
Oleh: Eko Mardiono
Namun, ketika RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan mencantumkan sanksi pidana bagi pelaku nikah sirri justru mendapatkan reaksi kontra dari masyarakat. Menteri Agama Suryadharma Ali sendiri, misalnya, mengatakan bahwa nikah sirri dan kawin kontrak adalah kebutuhan. Karena itu, negara kemungkinan tetap akan mengaturnya ke depan. Tapi, akan seperti apa pengaturannya, belum bisa disampaikan. Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan pun menilai bahwa adanya pidana nikah sirri kurang relevan, karena pelanggaran hukum materiil tidak pernah ada pemidanaan (KR, 20/02/2010).
Paling tidak ada tiga alasan kenapa opini publik tentang nikah sirri dikatakan berbalik arah. Pertama, sebenarnya semenjak awal masa kemerdekaan RI para pelaku nikah sirri sudah diancam hukuman pidana. Bahkan, hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini pun juga demikian. Orang yang melaksanakan perkawinan tidak di hadapan pejabat yang berwenang diancam hukuman pidana.
UU Nomor 22/1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk pasal 3 ayat 1 secara gamblang menyatakan, “Barangsiapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah atau Wakilnya dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (lima puluh rupiah).” PP Nomor 9/1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan pun demikian. Pasal 45 ayat 1 poin a PP ini menegaskan, “Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat (3), dan 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
Padahal, pasal 3 PP tersebut mengatur tentang ketentuan pemberitahuan kehendak nikah kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Sedangkan, pasal 10 PP tersebut mengatur tentang keharusan pelaksanaan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah. Adapun pasal 40 yang pelanggarnya juga diancam sanksi pidana mensyaratkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Tampak jelas, walaupun besarnya hanya Rp. 7.500,-, tetapi hukum positif di Indonesia telah menetapkan sanksi pidana bagi pihak yang tidak mencatatkan perkawinannya. Kalau demikian, kenapa dikatakan pelaku nikah sirri tidak dapat dipidanakan? Memang, yang diancam sanksi pidana bukan perbuatan akad nikahnya tetapi perbuatan pelanggarannya yang tidak mencatatkan perkawinannya kepada pejabat yang berwenang.
Kedua, keilmuan akademik sudah sampai pada suatu kesimpulan bahwa hukum perkawinan Islam di Indonesia sudah mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Salah satu indikatornya adalah adanya keharusan pencatatan perkawinan. Bahkan, ada sebagian pakar yang memasukkan pencatatan perkawinan itu ke dalam unsur penentuan keabsahan perkawinan. Konklusi keilmuan tersebut dihasilkan berdasarkan pemahaman ajaran agama secara tematik dan holistik. Hal ini berbeda dengan kitab-kitab fiqh. Di dalamnya tidak dikenal adanya registrasi perkawinan. Menurut fiqh konvensional tersebut, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah terpenuhi syarat dan rukunnya.
Landasan filosofis institusi pencatatan perkawinan adalah untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat dan memperoleh kepastian hukum, baik bagi yang bersangkutan maupun orang lain dan masyarakat. Pencatatan perkawinan merupakan bentuk baru dari pemahaman perintah Nabi SAW agar mengumumkan nikah meskipun hanya dengan memotong seekor kambing. Perintah Nabi tersebut sebetulnya ditujukan kepada masyarakat kesukuan yang kecil dan tertutup seperti penduduk Hijaz tempo dulu. Bagi mereka, pesta memotong kambing memang sudah cukup sebagai pengumuman resmi. Tetapi, bagi masyarakat yang kompleks dan penuh dengan persyaratan formal seperti era sekarang ini, sudah cukupkah hanya dengan itu?
Ketiga, sejak awal tahun tujuh puluhan, pembangunan hukum di Indonesia menganut dan mengembangkan teori law as a tool of social engineering, yakni hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pokok-pokok pikiran dari pembangunan hukum ini adalah (1) terciptanya ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat; dan (2) peraturan hukum diharapkan dapat mengarahkan kegiatan masyarakat ke arah pembangunan komunitas yang dikehendaki (Mochtar Kusumaatmadja, 1976).
Saat ini pun ada fenomena sebagian masyarakat Indonesia yang melakukan praktik nikah sirri, kawin kontrak, bahkan kumpul kebo. Menurut Frances Burton (Inggris), pada era sekarang ini struktur keluarga memang dapat berupa perkawinan (marriage) dan dapat pula berupa kumpul kebo (heterosexual cohabitation). Menurut kedua model perkawinan tersebut, yang terpenting adalah bagaimana menegakkan kepentingan anak (children’s interest). Keduanya pun dalam hukum keluarga modern di Inggris sama-sama diakui keabsahannya.Lantas, akankah RUU yang sudah masuk prolegnas ini juga akan hanya mengikuti perkembangan masyarakatnya tanpa harus ada upaya untuk mengarahkan kepada pembangunan masyarakat yang diidealkan? Di sinilah posisi strategis para legislator, penguasa, dan media massa dalam penyusunan sebuah peraturan perundangan yang responsif. Satu sisi mereka harus mampu menyerapkan dan menyuarakan perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat, tetapi di lain sisi mereka juga harus kuasa mengawal menuju pembentukan masyarakat yang dicita-citakan.
Apakah opini tentang nikah sirri sekarang ini berbalik arah? Sebelumnya, publik begitu memandang negatif terhadap praktik nikah sirri. Pernikahannya sendiri menurut agama memang dianggap sah, tetapi diyakini akan bisa menimbulkan banyak madarat, terutama bagi pihak yang lemah. Semua mafhum, bagaimana reaksi khayalak terhadap pernikahan sirri syekh Puji dan Luthfiana Ulfa beberapa waktu yang lalu. Sebetulnya pangkal utama dari pernikahan Syekh Puji itu adalah dipraktikkannya nikah sirri. Sehingga, terjadilah pernikahan anak di bawah umur dan poligami tanpa izin Pengadilan. Ironisnya, pihak berwenang pun tidak dapat berbuat banyak karena memang tidak ada sanksi pidana yang signifikan bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya.
Namun, ketika RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan mencantumkan sanksi pidana bagi pelaku nikah sirri justru mendapatkan reaksi kontra dari masyarakat. Menteri Agama Suryadharma Ali sendiri, misalnya, mengatakan bahwa nikah sirri dan kawin kontrak adalah kebutuhan. Karena itu, negara kemungkinan tetap akan mengaturnya ke depan. Tapi, akan seperti apa pengaturannya, belum bisa disampaikan. Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan pun menilai bahwa adanya pidana nikah sirri kurang relevan, karena pelanggaran hukum materiil tidak pernah ada pemidanaan (KR, 20/02/2010).
Paling tidak ada tiga alasan kenapa opini publik tentang nikah sirri dikatakan berbalik arah. Pertama, sebenarnya semenjak awal masa kemerdekaan RI para pelaku nikah sirri sudah diancam hukuman pidana. Bahkan, hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini pun juga demikian. Orang yang melaksanakan perkawinan tidak di hadapan pejabat yang berwenang diancam hukuman pidana.
UU Nomor 22/1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk pasal 3 ayat 1 secara gamblang menyatakan, “Barangsiapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah atau Wakilnya dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (lima puluh rupiah).” PP Nomor 9/1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan pun demikian. Pasal 45 ayat 1 poin a PP ini menegaskan, “Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat (3), dan 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
Padahal, pasal 3 PP tersebut mengatur tentang ketentuan pemberitahuan kehendak nikah kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Sedangkan, pasal 10 PP tersebut mengatur tentang keharusan pelaksanaan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah. Adapun pasal 40 yang pelanggarnya juga diancam sanksi pidana mensyaratkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Tampak jelas, walaupun besarnya hanya Rp. 7.500,-, tetapi hukum positif di Indonesia telah menetapkan sanksi pidana bagi pihak yang tidak mencatatkan perkawinannya. Kalau demikian, kenapa dikatakan pelaku nikah sirri tidak dapat dipidanakan? Memang, yang diancam sanksi pidana bukan perbuatan akad nikahnya tetapi perbuatan pelanggarannya yang tidak mencatatkan perkawinannya kepada pejabat yang berwenang.
Kedua, keilmuan akademik sudah sampai pada suatu kesimpulan bahwa hukum perkawinan Islam di Indonesia sudah mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Salah satu indikatornya adalah adanya keharusan pencatatan perkawinan. Bahkan, ada sebagian pakar yang memasukkan pencatatan perkawinan itu ke dalam unsur penentuan keabsahan perkawinan. Konklusi keilmuan tersebut dihasilkan berdasarkan pemahaman ajaran agama secara tematik dan holistik. Hal ini berbeda dengan kitab-kitab fiqh. Di dalamnya tidak dikenal adanya registrasi perkawinan. Menurut fiqh konvensional tersebut, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah terpenuhi syarat dan rukunnya.
Landasan filosofis institusi pencatatan perkawinan adalah untuk mewujudkan ketertiban dalam masyarakat dan memperoleh kepastian hukum, baik bagi yang bersangkutan maupun orang lain dan masyarakat. Pencatatan perkawinan merupakan bentuk baru dari pemahaman perintah Nabi SAW agar mengumumkan nikah meskipun hanya dengan memotong seekor kambing. Perintah Nabi tersebut sebetulnya ditujukan kepada masyarakat kesukuan yang kecil dan tertutup seperti penduduk Hijaz tempo dulu. Bagi mereka, pesta memotong kambing memang sudah cukup sebagai pengumuman resmi. Tetapi, bagi masyarakat yang kompleks dan penuh dengan persyaratan formal seperti era sekarang ini, sudah cukupkah hanya dengan itu?
Ketiga, sejak awal tahun tujuh puluhan, pembangunan hukum di Indonesia menganut dan mengembangkan teori law as a tool of social engineering, yakni hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pokok-pokok pikiran dari pembangunan hukum ini adalah (1) terciptanya ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat; dan (2) peraturan hukum diharapkan dapat mengarahkan kegiatan masyarakat ke arah pembangunan komunitas yang dikehendaki (Mochtar Kusumaatmadja, 1976).
Saat ini pun ada fenomena sebagian masyarakat Indonesia yang melakukan praktik nikah sirri, kawin kontrak, bahkan kumpul kebo. Menurut Frances Burton (Inggris), pada era sekarang ini struktur keluarga memang dapat berupa perkawinan (marriage) dan dapat pula berupa kumpul kebo (heterosexual cohabitation). Menurut kedua model perkawinan tersebut, yang terpenting adalah bagaimana menegakkan kepentingan anak (children’s interest). Keduanya pun dalam hukum keluarga modern di Inggris sama-sama diakui keabsahannya.Lantas, akankah RUU yang sudah masuk prolegnas ini juga akan hanya mengikuti perkembangan masyarakatnya tanpa harus ada upaya untuk mengarahkan kepada pembangunan masyarakat yang diidealkan? Di sinilah posisi strategis para legislator, penguasa, dan media massa dalam penyusunan sebuah peraturan perundangan yang responsif. Satu sisi mereka harus mampu menyerapkan dan menyuarakan perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat, tetapi di lain sisi mereka juga harus kuasa mengawal menuju pembentukan masyarakat yang dicita-citakan.