Header Ads

Mungkinkah Penghulu Seorang Perempuan?

Oleh: Eko Mardiono, S.Ag., MSI.
Semenjak kelahirannya sampai sekarang, bahkan untuk masa-masa yang akan datang, kepala KUA (Kantor Urusan Agama) selalu dan akan selalu dijabat oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan tidak akan pernah mendudukinya. Hal ini karena kepala KUA sekaligus ditunjuk sebagai wali hakim, padahal menurut hukum Islam, wali hakim harus seorang laki-laki. Akankah selamanya kaum perempuan di KUA menjadi staf? Pertanyaan ini mengemuka karena di KUA hanya ada dua jabatan, yaitu kepala kantor dan staf. Di dalamnya tidak terdapat jabatan struktural lainnya. Kalaupun ada jabatan fungsional penghulu, itu pun selama ini hanya diduduki oleh kaum laki-laki.

Sebenarnya secercah harapan pernah muncul, yaitu ketika dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah. Menurut KMA ini, kepala KUA tidak sebagai penghulu dan juga tidak sebagai wali hakim. Berdasarkan KMA yang akhirnya dicabut oleh Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 ini, kaum perempuan berpeluang menjabat sebagai kepala KUA. Hanya saja, tidak selang begitu lama keluarlah PMA Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim. PMA ini menunjuk kembali kepala KUA sebagai wali hakim. Sejak saat itulah tertutup lagi kesempatan perempuan untuk menduduki pimpinan tertinggi di instansi pemerintah di bawah Kementerian Agama ini.

Pertanyaannnya sekarang adalah masih adakah peluang lain bagi kaum perempuan untuk mengabdikan dan mengaktualisasikan diri di KUA sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya?

Tulisan ini mempunyai sebuah hipotesis bahwa sebenarnya bagi kaum Hawa masih terbuka peluang itu. Mereka bisa menduduki jabatan fungsional penghulu. Sebuah jabatan yang sangat strategis dan prestisius untuk level KUA. Namun, selama ini jabatan fungsional tersebut hanya diduduki oleh kaum laki-laki. Memang, seperti itulah opini publik, bahkan termasuk praktik para pengambil kebijakan. Oleh karena itu, sangatlah urgen mengemukakan sekaligus mensosialisasikan argumen-argumen yang mendukung bahwa jabatan fungsional penghulu sebetulnya tidak hanya untuk kaum Adam.

Paling tidak ada tiga aspek argumen yang dapat dikemukakan, yakni aspek yuridis formal, agama, dan sosial.


Pertama aspek yuridis formal. Menurut PMA Nomor 11 Tahun 2007 pasal 1 ayat 3, penghulu adalah pejabat fungsional Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab, dan wewenang untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan. Berdasarkan PMA ini tampak bahwa penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil itu sendiri bisa laki-laki dan juga bisa perempuan. Mungkin yang menjadi persoalan adalah menurut agama Islam bolehkah seorang perempuan melakukan tugas-tugas kepenghuluan itu? Permasalahannya pun beralih ke aspek agama.

Kedua aspek agama. Agama Islam menentukan bahwa pernikahan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama itu. Suatu pernikahan dihukumi sah apabila telah terpenuhi syarat dan rukunnya. Syarat dan rukun itu adalah calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qabul. Tampak bahwa penghulu tidak termasuk di dalamnya.

Memang, selama ini dalam prosesi pelaksanaan akad nikah terdapat tradisi pemberian khutbah dan doa akad nikah. Namun, yang perlu diingat adalah keduanya tidak termasuk rukun akad nikah. Keduanya tidak harus ada. Kalaupun jika dikehendaki keberadaannya, maka pertanyaannya, menurut Islam tidak bolehkah seorang perempuan memberikan khutbah dan doa akad nikah? Jawabannya jelas boleh; dan sebenarnya istilah khutbah nikah bisa saja diganti dengan istilah nasihat perkawinan.

Ada hal lain yang juga akan menjadi persoalan ketika penghulu dijabat oleh seorang perempuan. Yaitu, masih adanya sebagian wali nikah yang mewakilkan hak kewaliannya kepada penghulu. Padahal, menurut Islam yang bisa mewakili wali nikah hanyalah seorang laki-laki. Sebetulnya persoalan itu pun bisa dicarikan solusinya. Persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan pendekatan sosial dan kebijakan institusional.

Ketiga aspek sosial dan institusional. Terhadap kebiasaan sebagian masyarakat yang masih mewakilkan hak kewaliannya kepada penghulu, dapat ditempuh dua langkah. Pertama, mereka diberi penjelasan bahwa lebih utama apabila mereka sendiri yang menikahkan. Sebelumnya mereka dapat dilatih sampai mampu melaksanakan tugas mulianya itu. Kalaupun mereka tetap mewakilkan kepada penghulu, maka dapat ditempuh langkah kedua. Yakni, dilakukan identifikasi wali nikah yang akan menikahkan sendiri. Kemudian penghulu perempuan diserahi tugas untuk menghadiri pelaksanaan akad nikah yang wali nikahnya akan menikahkan sendiri tersebut.

Memang harus diakui, sampai saat ini masih ada sebagian masyarakat yang masih resisten terhadap kehadiran perempuan di ranah publik apalagi yang bersinggungan dengan wilayah keagamaan. Terhadap persoalan krusial ini dapat dilakukan pemetaan, mana yang masuk wilayah konstruksi sosial dan mana yang masuk wilayah ritual keagamaan. Sambil menunggu proses pencerahan ini, penghulu perempuan untuk sementara waktu dapat diserahi tugas-tugas kepenghuluan yang tidak bersinggungan langsung dengan “upacara keagamaan”. Penghulu perempuan dapat saja diserahi tugas untuk melakukan pendaftaran dan pemeriksaan nikah, konsultasi/penasihatan perkawinan, dan pengembangan keluarga sakinah. Bahkan lebih daripada itu, mereka dapat diterjunkan di bidang tugas-tugas pengembangan profesi kepenghuluan.

Akan banyak pengaruh positifnya jika di KUA potensi penghulu perempuan diberdayakan secara optimal. Kekurangan jumlah penghulu akan bisa terpenuhi. Bidang tugas kepenghuluan yang selama ini belum terjangkau dapat tertangani. Kesan publik bahwa KUA hanya banyak menangani masalah “ijab qabul” bisa terkikis karena adanya penghulu perempuan yang waktunya tidak banyak tersita untuk menghadiri upacara ijab qabul tersebut. Para pegawai dari kaum Hawa ini pun bisa meniti karir di KUA. Mereka tidak selamanya akan menjadi seorang staf. Demikian, semoga bermanfaat.
Diberdayakan oleh Blogger.