Header Ads

Talak di Luar Sidang Pengadilan


Oleh: Eko Mardiono
halayak digegerkan beredarnya berita bahwa ada seorang pejabat publik yang menceraikan isteri lewat SMS (Sort Message System). Akad nikahnya pun dilaksanakan secara sirri. Usia perkawinannya tidak lebih dari 4 hari. Usia isterinya juga kurang dari 18 tahun (nikah di bawah umur). Sehingga, sang pejabat diidentifikasi telah melanggar beberapa peraturan perundang-undangan, misalnya UU Nomor 1 Tahun 1964 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, serta melanggar moral etika yang seharusnya sebagai seorang pejabat harus mampu menjadi suri tauladan.  Nikah sirri dan cerai via SMS seperti itu jelas akan berdampak negatif bagi pihak yang lemah, terutama perempuan dan anak-anak. Hak yang paling asasi mereka dapat terabaikan. 

           Terkait dengan cerai via SMS yang sangat menghebohkan ini, ada satu hasil Ijtima' Majelis Ulama Indonesia yang sangat perlu untuk dicermati. Hasil Ijtima' ulama tersebut dikhawatirkan justru akan berkontribusi besar terhadap maraknya perceraian sebab talak yang dilakukan secara sepiha oleh suami. Sebagaimana siaran pers-nya, MUI menyatakan bahwa talak di luar sidang pengadilan hukumnya sah. Masa iddah (masa tunggunya)-nya pun dihitung sejak suami menjatuhkan talak di luar sidang pengadilan tersebut. MUI hanya mengharuskan para pihak untuk mengabarkan (ikhbar) perceraiannya kepada Pengadilan Agama.

Memang MUI mensyaratkan penjatuhan talak di luar sidang pengadilan harus mempunyai alasan syar'iy yang keberanannya dapat dibuktikan di Pengadilan. MUI memang juga merekomendasikan agar Pemerintah bersama ulama melakukan edukasi kepada masyarakat untuk memperkuat lembaga perkawinan dan tidak mudah menjatuhkan talak. Selain itu, MUI juga mengharuskan bahwa suami jika mentalak isterinya, maka suami harus menjamin hak-hak isterinya yang diceraikannya itu dan anak-anaknya. Namun, realita membuktikan bahwa pengakuan keabsahan perceraian (talak) di luar pengadilan justru menyuburkan perceraian secara sepihak oleh suami. Isteri yang berada dalam posisi yang lemah tidak mempunyai daya tawar yang sebanding. Nantinya, Pengadilan Agama pun hanyalah berfungsi sebagai pemberi stempel (legal formal) terhadap perceraian (talak) yang telah terjadi di luar sidang. Suami dan isteri yang bersangkutan akan memahami bahwa mereka secara agama ---sebagaimana menurut MUI---  telah absah bercerai. Mereka datang ke Pengadilan Agama hanyalah untuk menyampaikan laporan (ikhbar).

Menurut hemat penulis, hasil Ijtima’ Ulama tentang Talak di Luar Pengadilan ini merupakan langkah mundur dalam pembangunan hukum Islam di Indonesia. Selama ini menurut hukum Islam di Indonesia sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU Perkawinan, dan UU Peradilan Agama, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Itu pun harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri  (pasal 39 UU Perkawinan).

Dalam hal ini, MUI tampak kembali ke pemahaman fikih klasik, bahwa suami mempunyai hak mutlak untuk menjatuhkan talak kapan pun dan di mana pun, bahkan tanpa seorang saksi pun. Hal itu berbeda dengan Hukum Islam (peraturan perundangan) di Indonesia, bahwa cerai talak yang asalnya dalam fikih klasik sifat perkaranya mirip volunter ditingkatkan menjadi gugat contentiosadengan ketentuan: suami sebagai pemohon yang berkedudukan sebagai "penggugat" dan isteri sebagai termohon yang berposisi sebagai "tergugat" dan proses pemeriksaannya berdasar atas asas audi et alteram partem. 

Dengan model dan sistem pembaharuan Hukum Islam di Indonesia seperti ini, maka kepentingan kedua belah pihak, terutama isteri dan anak, bisa lebih terlindungi. Sehingga, perceraian di luar pengadilan apalagi lewat SMS diharapkan tidak terjadi lagi karena umat sudah tercerahkan bahwa cerai (talak) di luar oengadilan hukumnya tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Wallahu a'lam. 

Diberdayakan oleh Blogger.