Header Ads

MEMPERKUAT HUKUM PENCATATAN NIKAH

Oleh : R. Agung Nugraha, S.Ag. MA[1]

Setelah terbitnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, peristiwa nikah yang tidak dicatatkan di KUA (baca: nikah sirri) terus berkurang bersamaan kesadaran pentingnya fungsi pencatatan dan kepastian hukum akibat pencatatan nikah.
Nikah siri kembali mengemuka dan mendapat panggung ketika para pemimpin (partai) dan selebritis sering mewarnai pemberitaan media. Kemudahan akses media sosial dan beririsan potensi ekonomi, menbuat nikah siri menjadi “peluang bisnis” dengan mantel agama sebagaimana tergambar dalam kasus nikahsirri.com.
Ada tiga catatan yang bisa dikemukakan, yaitu tentang diskursus hukum perkawinan, perebutan lahan ‘penghulu’ dan lemahnya penegakan hukum.

Persoalan Hukum Perkawinan
Dalam situs yang dibuat, Aris Wahyudi meyakinkan pernikahan siri yang ia fasilitasi sah menurut agama. Alasannya, client yang akan menikah difasilitasi adanya mitra meliputi calon pasangan (suami/istri), saksi dan ‘penghulu’.
Dengan menyiapkan ‘penghulu’, Aris merasa rukun nikah terpenuhi. Dari sini tampak bahwa ia tidak memahami hukum perkawinan. Ia mendudukkan penghulu sebagai pihak yang berhak menikahkan. Padahal setelah adanya calon suami/istri,  dan dua orang saksi, kewenangan menikahkan ada pada wali nasab, yaitu seorang laki-laki yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin perempuan dari jalur laki-laki.
Pemahaman Aris ini tampaknya mewakili sebagian besar pemahaman masyarakat kita. Sehingga tidak sedikit orang yang mengaku telah menikah sirri, tetapi ketika dilacak siapa wali yang menikahkannya, ternyata bukan orang yang  mempunyai kewenangan menikahkan dirinya.
Persoalan selanjutnya adalah diskursus hukum pencatatan, NU dan  Muhammadiyah baru sampai pada hukum ‘wajib’. Sebagaimana dijelaskan Prof. Yunahar Ilyas, Hasil ijtima’ ulama MUI lebih maju, bahwa nikah sirri sah tetapi ‘haram’ apabila menimbulkan madharat. Sayangya masih ada klausul ‘apabila menimbulkan madharat’. Rumusan ini tentu masih membuka peluang nikah siri tetap berlangsung karena madharat atau tidak baru diketahui setelah pernikahan.
Persoalannya, kalaupun pencatatan nikah belum bisa dijadikan ‘rukun’, dengan merujuk kaidah ushul fiqh “dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih” (mencegah kerusakan didahulukan dari mendapatkan kemaslahatan) dan “adh-dhararu yuzalu” (kemadharatan harus dihilangkan), beranikah MUI menghilangkan klausul ‘apabila menimbulkan madharat’ kemudian mendorongnya menjadi peraturan formal/undang-undang.

Penghulu KUA vs ‘penghulu swasta’
Pencatatan nikah bukanlah sesuatu yang baru. Sejak jaman kolonial pencatatan nikah telah diatur melalui staatblad No. 152 Tahun 1882 dan pelaksananya adalah penghulu.
Penghulu adalah pejabat fungsional pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggungjawab dan wewenang untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan (PMA No. 11 tahun 2007). Sepanjang syarat dan rukun terpenuhi, setiap pernikahan yang diawasi penghulu, akan dicatat dan diterbitkan buku Kutipan Akta Nikahnya.
Tidak dipungkiri, disamping merupakan ibadah, pernikahan juga merupakan potensi ekonomi. Nikah sirri.com tampaknya menangkap peluang ini dengan memberikan fasilitasi ‘penghulu swasta’ bagi orang-orang yang hendak menikah tetapi tidak memenuhi syarat menikah pada penghulu KUA.
Disinilah tantangan  penghulu KUA terus memberikan layanan terbaik, termasuk sosialisasi dan edukasi terkait hukum perkawinan dan pencatatannya. Catatannya, biaya operasional 3 juta perbulan untuk KUA pasti tidak mampu ‘bersaing’ dengan penghulu swasta yang aktif dan kreatif memanfaatkan dukungan media.

Lemahnya penegakan hukum
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Pasal 34 (1) UU 23 tahun 2006 mengatur bahwa perkawinan yang sah wajib dilaporkan, pada pasal 90 diatur juga denda administratif paling banyak Rp 1.000.000.00 (satu juta rupiah). Bahkan bagi Suami/istri yang melakukan pernikahan siri bisa dikenakan pidana sebagaimana ketentuan pasal 279 KUHP.
Masalahnya, siapa yang harus dan berwenang menegakkan peraturan tersebut.
Kalaupun dalam Permenpan No. PER/62/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan fungsional Penghulu juga menyematkan tugas mengidentifikasi dan melaporkan pelanggaran peraturan/perundangan nikah/rujuk, tampaknya penghulu belum ‘punya nyali’ melaksanakan tugas tersebut. Disamping resiko sosial, penghulu belum mempunyai perlindungan hukum yang kuat untuk melakukan pelaporan pelanggaran nikah/rujuk seperti adanya nikah siri dikalangan masyarakat.

Rekomendasi
Merujuk tiga catatan tersebut, penulis merekomendasikan 1) penguatan hukum pencatatan nikah, setidaknya dengan menggabungkan ketentuan Pasal 2 huruf (a) dan (b) UU No. 1 tahun 1974, dalam satu frase, misalnya, menjadi ‘Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama agama dan kepercayaan itu, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dengan kalimat demikian, pencatatan perkawinan melekat dengan keabsahan pernikahan; 2) tingkatkan operasional KUA/Penghulu sehingga mampu memberikan edukasi terkait hukum perkawinan dan pencatatannya; 3) perkuat aturan dan penegakan hukum atas pelanggaran terhadap kewajiban pencatatan nikah/rujuk.




[1] Kepala KUA Kecamatan Kalasan dan Dosen (LB) Kepenghuluan Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Diberdayakan oleh Blogger.