Header Ads

Judi Akan Dilegalkan?

Oleh: Eko Mardiono
Pertanyaan sebagaimana judul di atas mengemuka, karena saat ini di Mahkamah Konstitusi sedang berlangsung sidang uji materi Pasal 303 dan 303 bis KUHP beserta UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Uji materi UU tersebut diajukan oleh Farhat Abbas. Seorang pengacara dari pemohon yang bernama Suyud. Sang pemohon sendiri pernah dihukum penjara 4 bulan 10 hari, karena tertangkap basah sedang bermain judi. Uji materi ini pun diajukan, karena KUHP dan UU termaksud ternyata membolehkan perjudian walaupun sebelumnya harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari penguasa (KR, Kamis, 22/04/2010).

Uji materi UU ini diajukan, juga karena adanya pertimbangan bahwa kenyataannya di masyarakat perjudian itu masih hidup. Ia tidak bisa dihilangkan. Seakan ia sudah menyatu dengan perilaku (sebagian) masyarakat. Selain itu, perjudian jika dikelola secara profesional juga akan menjadi sarana pendapatan negara yang luar biasa. Ia akan mampu menjadi penambang devisa wisatawan mancanegara. Adapun mengenai dampak negatifnya, sesungguhnya ia bisa saja diantisipasi dengan model lokalisasi perjudian dengan beberapa persyaratan tertentu. Contoh negara yang dapat dijadikan sebagai referensi dalam hal ini adalah Singapura dan Malaysia (Dialog dengan Farhat Abbas di TV One Rabu malam, 21/04/2010).

Sebenarnya perbincangan tentang legalisasi perjudian di Indonesia sudah pernah muncul sebelumnya. Dulu pernah diwacanakan, agar pulau Batam dijadikan sebagai lokalisasi perjudian bertaraf internasional. Untuk level regional pun, juga demikian. Sebut saja, objek wisata Kaliadem yang berlokasi di Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta. Daerah itupun dulu pernah diwacanakan oleh ketua lembaga legislatif setempat beberapa periode yang lalu untuk dijadikan sebagai lokalisasi perjudian. Harapannya supaya Pendapatan Asli Daerah meningkat.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah perjudian pada era sekarang ini memang lebih tepat untuk dilegalkan saja? Bukankah sampai saat ini di tengah-tengah masyarakat perjudian itu masih senantiasa hidup? Padahal, praktik perjudian itu sendiri jelas akan mendatangkan pendapatan bagi negara ataupun daerah yang cukup signifikan jika dikelola secara profesional.

Untuk mengurai persoalan-persoalan krusial di atas, jelas banyak hal yang akan terkait. Ia akan terkait dengan norma agama, norma kesusilaan, moral, dan penghidupan serta kehidupan masyarakat. Memang KUHP dan UU Penertiban Perjudian sendiri sangat mempertimbangkan norma-norma tersebut, sebagaimana terlihat dalam konsideran hukumnya. Salah satu norma yang dipertimbangkannya adalah norma agama.

Agama apa pun, semuanya melarang praktik perjudian. Islam, yang merupakan agama mayoritas bangsa Indonesia, memandang bahwa perjudian adalah suatu perbuatan yang harus dijauhi (Q.S. al-Maidah: 90). Islam memberikan argumentasi, bahwa perjudian sangat berpotensi menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara sesama umat manusia (Q.S. al-Maidah: 91). Walaupun demikian, Islam dalam sejarahnya tidak serta merta langsung melarang umatnya untuk meninggalkan praktik perjudian. Hal itu karena Islam menyadari bahwa kala itu praktik perjudian sudah begitu mencandu di kalangan umat. Jelas tidak akan mungkin melarangnya dalam tempo yang singkat. Islam pun memakai cara bertahap (tadarruj). Sebelumnya, Islam hanya menyatakan bahwa dalam perjudian itu terdapat kebaikan dan keburukan, tetapi keburukannya lebih besar daripada kebaikannya (Q.S. al-Baqarah: 219).

Langkah yang ditempuh UU Penertiban Perjudian inipun sejalan dengan langkah-langkah yang dipakai Islam ketika akan melarang penyakit masyarakat tersebut. Hal itu terlihat dalam konsideran hukumnya. UU Nomor 7 Tahun 1974 ini memandang perlu diadakannya usaha-usaha untuk menertibkan perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju ke pengahapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia. Sebuah langkah penetapan hukum yang gradual (bertahap). Sebetulnya langkah-langkah seperti inilah yang dikatakan menerapkan hukum (Islam) secara bertahap (tadarruj). Bukan menfatwakan sesuatu hukumnya haram, tetapi dinyatakan tidak mengikat.Umat lantas dibebaskan memilih, melaksanakannya atau tidak.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah pada saat sekarang ini sudah sampai manakah tahapan penertiban perjudian di Indonesia? Apakah masih pada tahapan larangan praktik perjudian dengan pengecualian izin penguasa, pada tahapan membatasi sampai ke lingkup sekecil-kecilnya, ataukah sudah sampai pada tahapan penghapusan sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia?

Apabila diputuskan masih berada dalam tahapan pertama atau kedua, maka pada saat ini di Indonesia masih dimungkinkan dibukanya lokalisasi perjudian dengan izin penguasa. Namun, jika diputuskan sudah memasuki tahapan ketiga (terakhir), maka di bumi Nusantara ini sudah tidak ada lagi toleransi diselenggarakannya praktik perjudian. Para pelanggarnya pun bisa dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hanya saja, yang perlu dicatat di sini, bahwa spirit dan misi yang diemban oleh pasal 303 dan 303 bis KUHP dan UU Nomor 7 Tahun 1974 adalah pemberantasan praktik perjudian dari seluruh wilayah Indonesia. Kalaupun sebelumnya ada toleransi dengan izin penguasa atau pembatasan ke lingkup sekecil-kecilnya, semua itu adalah dalam rangka menuju ke tujuan akhir, yaitu pemberantasan praktik perjudian tersebut.

Oleh karena itu, apabila ada pengajuan uji materi pasal 303 dan 303 bis KUHP dan UU Nomor 7 Tahun 1974 dengan dasar masih adanya toleransi perjudian dengan izin penguasa, maka apakah hal itu tidak berarti ia telah keluar dari koridor maksud pemberian izin itu sendiri? Apalagi, jika hal itu ditujukan untuk meningkatkan pendapatan negara? Memang, dalam praktik perjudian itu selain teradapat keburukan, juga terdapat kebaikan. Hanya saja, keburukannya lebih besar daripada kebaikannya. Pada akhirnya, semuanya akan kembali kepada para hakim Mahkamah Konstitusi, apakah peraturan perundangan yang diajukan uji materi itu melanggar konstitusi ataukah tidak. Semoga bermanfaat.
Diberdayakan oleh Blogger.