Header Ads

Bersyukurlah, Engkau pun Jadi Kaya

Oleh: Eko Mardiono

Semua orang pasti menginginkan dapat hidup kaya. Bahkan, mereka sangat mendambakan dapat memperoleh tambahan lagi kekayaan itu. Sebab dengan demikian, mereka akan lebih sempurna dalam beribadah. Mereka akan mampu mengeluarkan sedekah dan zakat, bahkan bisa beribadah haji ke tanah suci. Termasuk juga, mereka akan mampu mengantarkan generasinya untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Kebutuhan hidup di dunianya pun menjadi tercukupi. Namun permasalahannya, maukah mereka bersyukur atas kenikmatan yang telah diterimanya? Padahal sesungguhnya bersyukur adalah pintu pembuka limpahan-limpahan nikmat berikutnya yang didambakannya itu.

Mari kita renungkan bersama, berapa banyak di antara kita yang Pegawai Negeri Sipil ini bersyukur atas gaji bulanan yang kita terima? Tampaknya, kebanyakan dari kita kurang begitu mensyukurinya. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena kita terlanjur menganggap, bahwa gaji bulanan itu adalah hak kita dan telah secara rutin kita terima. Penerimaannya pun tidak begitu terpengaruh oleh aktifitas dan prestasi kerja kita. Setiap bulannya, kita pasti menerimanya dalam jumlah yang sama dan nanti secara berkala akan ada kenaikan. Tanpa disadari, kita pun menganggap gaji bulanan itu tidak sebagai kenikmatan dari Tuhan. Akibatnya, kita pun tidak begitu mensyukurinya. Bersyukur adalah mengakuinya dengan sepenuh hati, bahwa gaji itu adalah karunia dari Tuhan, kemudian mengucapkan puji al-hamdulillah, akhirnya menggunakannya sesuai dengan tuntunan dan ajaran-Nya.

Padahal sebenarnya manfaat bersyukur itu adalah untuk diri kita sendiri. Tuhan, sang Pemberi nikmat, sedikit pun tidak akan pernah berkepentingan. Sebagaimana firman-Nya, ”Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.” (Q.S. an-Naml (27): 40). Justru, apabila kita bersyukur, Allah akan menambahkan kenikmatan itu, seperti ternyata dalam firman-Nya, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya akan Aku tambah (nikmat itu) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangatlah pedih.” (Q.S. Ibrahim (14): 7).

Celakanya, kita ini juga mempunyai potensi bawaan diri yang negatif. Kita apabila diberi kenikmatan, kita akan mudah berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong. Sebaliknya, bila ditimpa kesusahan, kita pun akan gampang berputus asa. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-Isra’ (17): 83. Selain itu, kita ini juga termasuk hamba Allah yang kurang begitu yakin terhadap kebenaran janji-Nya, bahwa Dia akan menambah nikmat-Nya bila kita mensyukurinya. Konklusi ini pun terlihat jelas dalam Q.S. Ibrahim (14): 7. Dalam ayat tersebut, Allah SWT sampai berupaya menyakinkan kita, para hamba-Nya ini. Dalam ayat itu, Allah sampai menggunakan dua huruf ta’kid (penguat), seperti terbaca dalam kata لأَزِيْدَنَّكُمْ (la’azidannakum). Huruf ta’kid pertama berupa lam ta’kid dan huruf ta’kid kedua berujud nun ta’kid. Menurut ulama tafsir, kalau Tuhan sampai menggunakan huruf ta’kid, apalagi sampai dua kali untuk persoalan yang sama, maka hal itu menunjukkan bahwa umat manusia masih meragukan atas kebenaran kandungan ayat yang disampaikan.

Oleh karena itu, supaya kita bisa senantiasa bersyukur, maka langkah pertamanya adalah kita harus yakin sampai ke lubuk hati yang paling dalam, bahwa segala firman Allah adalah benar adanya. Tuhan sekali pun tidak akan pernah menyelisihi janjinya (Q.S. Ali Imran (3): 9). Langkah kedua, kita harus senantiasa melakukannya walau bagaimanapun keadaan kita, baik dalam keadaan lapang ataupun sempit. Ada sebuah pepatah yang sangat bagus untuk kita cermati. Pepatah itu mengatakan, “Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”. Betulkah demikian? Bagaimana hal itu bisa terjadi dan apa rahasianya?

Ternyata rahasianya hanya satu, yaitu syukur atau kufur. Orang-orang kaya sangat menikmati kekayaannya. Karena terlalu nikmatnya itu, mereka tidak segan-segan mengeluarkan kekayaannya untuk sedekah, zakat, dan amal jariyah. Secara tidak langsung, mereka pun banyak menolong orang lain. Memang, harus kita akui, ada orang kaya yang kikir dan enggan bersedekah, bahkan selalu merasa kekurangan. Orang seperti itu memang betul dia itu kaya, tetapi hatinya merasa miskin. Orang kaya seperti itu, biasanya tidak akan bertahan lama. Allah akan segera mencabut kekayaannya, hingga akhirnya ia jatuh miskin sebagaimana ia rasakan dalam hatinya.

Sementara itu, kebanyakan orang-orang miskin lebih banyak keluh kesahnya daripada bersyukurnya. Secara tidak langsung mereka pun telah “memiskinkan” dirinya melalui perasaaannya sendiri. Sebagaimana orang kaya yang merasa miskin di atas, maka orang miskin pun juga demikian. Mustahil orang miskin akan menjadi kaya apabila di hatinya tidak sedikit pun terdapat rasa bersyukur atau merasa cukup di hadapan Allah. Dalam hal ini, memang tidak dipungkiri bahwa ada orang miskin yang bersyukur. Inilah orang yang berkembang hidupnya, meningkat derajatnya, dan semakin berkualitas jiwanya. Mengapa demikian? Sebab, rasa syukur dan rasa cukup tersebut akan memberikan motivasi dan spirit hidup yang luar biasa. Sehingga pada akhirnya, rasa cukup dalam hati itu diwujudkan oleh Allah di alam nyata ini. Dia pun akhirnya secara riil menjadi orang kaya.

Tepatlah kiranya sebuah mutiara hikmah yang mengatakan, “Tidak seorang pun bisa dikatakan kaya jika ia masih merasa kekurangan dan belum merasa kecukupan. Sebaliknya, tidak seorang pun bisa dikatakan fakir dan miskin apabila ia merasa kecukupan. Nabi Muhammad SAW pun menegaskan, “Orang kaya bukanlah karena banyak harta bendanya, tetapi orang kaya adalah orang yang kaya jiwa.” (HR Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah). Semoga bermanfaat.
Diberdayakan oleh Blogger.