Header Ads

Problematika Penyelenggaraan Ibadah Haji di Daerah

Oleh: Eko Mardiono
A. Pendahuluan
Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu melaksanakannya sebanyak 1 (satu) seumur hidup. Umat Islam Indonesia merupakan umat Islam yang terbesar di belahan muka bumi ini. Setiap tahun paling tidak Pemerintah Republik Indonesia memberangkatkan 200.000 (dua ratus ribu) jamaah calon haji, yang akan bergabung dengan jutaan umat Islam dari Negara lainnya dalam waktu yang tertentu dan bersamaan. 

Penyelenggaraan ibadah haji ini merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah di bawah koordinasi Menteri Agama. Penyelenggaraannya meliputi unsur kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan (pasal 8 UU 13/2012), yang dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas atas prinsip nirlaba.

Ada tiga tujuan penyelenggaraan ibadah haji oleh Pemerintah ini, yaitu bertujuan memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaiknya-baiknya bagi jemaah haji sehingga jemaah haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam. Tentunya, realisasi tugas, tanggung jawab, dan tujuan penyelenggaraan ibadah haji tersebut tidak akan terlepas dari problematika, baik selama di tanah air maupun di tanah suci (Arab Saudi), termasuk penyelenggaraan ibadah haji di daerah. 

Penyelenggaraan Ibadah Haji di Daerah ini mulai dari pendaftaran dan setoran awal ibadah haji, pembuatan pasport, pembinaan manasik haji, pembagian kloter, rombongan, regu, selama di asrama embaraksi dan debarkasi sampai dengan pembinaan pasca ibadah haji untuk menjaga kemabruran haji itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
Setelah dilakukan pengamatan dan evaluasi penyelenggaraan ibadah haji di daerah, ada beberapa problema (persoalan) yang sering muncul dan perlu segera mendapatkan solusi segera. Di antaranya adalah:
1. Prosedur dan alur setoran awal serta pendaftaran ibadah haji masih masih harus bolak-balik antara Bank Penerima Setoran dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
2. Belum terjadinya kesepahaman tentang persyaratan melampirkan fotocopi buku nikah untuk penerbitan passport antara Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor Imigrasi.
3. Kurang optimalnya pelaksanaan Bimbingan Kelompok Manasik Haji di tingkat Kecamatan.

C. Pembahasan dan Tawaran Solusi Masalah
Sebagaimana dideskripsikan di depan, dalam penyelenggaraan ibadah haji di daerah ada tiga persoalan krusial yang perlu diurai dan dicarikan solusi, yaitu:
1. Prosedur dan Alur Setoran Awal serta Pendaftaran Haji
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, seseorang yang berkehendak mendaftarkan ibadah haji harus sering bolak-balik antara Bank Penerima Setoran (BPS) dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
a. Pertama-tama calon haji harus datang terlebih dahulu ke BPS untuk membuka rekening tabungan haji dengan setoran minimal Rp. 25 juta;
b. Kemudian datang ke Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota untuk meminta diterbitkan SPPH;
c. Setelah itu, kembali lagi ke BPS untuk melakukan setoran awal dan mendapatkan nomor porsi;
d. Sesudah itu, kembali lagi ke Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota untuk menyerahkan berkas setoran awal BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji).

Tampak bahwa prosedur dan alur setoran awal dan pendaftaran ibadah haji berbelit dan bolak-balik, padahal setiap kali mengurus di BPS harus melalui antrian yang cukup panjang, sehingga prosedur dan alurnya kurang efektif dan efisien. Solusi: sangatlah progressif saat Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah mencanangkan program One Stop Services.

Prosedur dan alur program One Stop Services ini lebih simple dan praktis, yaitu:
a. Calon haji datang sekali saja ke BPS untuk membuka rekening, menabung, dan sekaligus melakukan setoran awal BPIH;
b. Kemudian calon haji dating ke Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota untuk mendaftarkan haji yang sekaligus mendapatkan Nomor Porsi. Selesai. Kebijakan progressif ini harus mendapatkan dukungan dari semua pihak. Sudah barang tentu, perlu disiapkan beberapa regulasi sebagai dasar hokum pelaksanaannya.

2. Persyaratan Lampiran Fotocopi Buku Nikah dalam Penerbitan Pasport
Selama ini belum adanya kesepahaman tentang persyaratan penerbitan passport untuk melampirkan fotocopi Buku Nikah antara Kantor Urusan Agama dan Kantor Imigrasi, terutama jika terjadi perbedaan data (nama dan tanggal lahir) antara buku nikah dan dokumen kependudukan lainnya (KTP dan KK). Persoalan yang sering muncul adalah: a. Kantor Urusan Agama sering diminta untuk menerbitkan Duplikat Buku Nikah yang datanya minta disesuaikan dengan data kependudukan yang tercantum dalam KTP ataupun KK walaupun harus berbeda dengan data yang ada dalam Akta Nikah/Register Nikah yang ada di KUA.

Bahkan lebih daripada itu, KUA sering diminta untuk menerbitkan duplikat Buku Nikah (yang datanya minta sekaligus disesuaikan dengan KTP/KK), padahal pencatatan akta nikah oleh KUA lain (kebanyakan dari luar DI Yogyakarta).

b. Kalaupun tidak dalam bentuk duplikat, Kantor Urusan Agama sering diminta untuk menerbitkan Surat Keterangan Ralat atau Surat Keterangan Perubahan Nama) tanpa melalui proses sidang pengadilan. Padahal peraturan perundangan yang berlaku tidak membolehkan yang demikian itu. Pasal 71 UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan menentukan bahwa: 1) Pembelulan akta Pencatatan Sipil hanya dilakukan untuk akta yang mengalami kesalahan tulis redaksional; 2) Pembetulan akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan atau tanpa permohonan dari orang yang menjadi subjek akta; 3) Pembetulan akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil sesuai dengan kewenangannya.

Kemudian yang dimaksud dengan "kesalahan tulis redaksional" di sini adalah misalnya kesalahan penulisan huruf dan/atau angka. Itu saja, pembetulan akta itu dilakukan pada saat akta sudah selesai diproses (akta sudah jadi) tetapi belum diserahkan atau akan diserahkan kepada subjek akta. Pembetulan akta ini atas dasar koreksi dari petugas (Penjelasan pasal 70 dan 71 UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan). 

Selain itu, pembetulan akta ini harus mengacu kepada “dokumen autentik yang menjadi persyaratan penerbitan”, bukannya justru mengacu kepada KTP/KK yang diterbitkan lebih belakang (Pasal 100 PP Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil). Adapun persoalan perubahan nama jelas hal itu harus melalui sidang pengadilan (pasal 52 UU 23/2006). 

Kepala KUA bisa dikenai sanksi pidana jika mengeluarkan surat perubahan nama tanpa melalui sidang pengadilan. Solusi: sebetulnya menurut hemat penulis ada satu solusi yang tidak memberatkan masyarakat dan juga tidak melanggar peraturan perundangan. Yaitu: dalam hal ini Kantor Urusan Agama mengeluarkan dokumen berbentuk “Surat Perbedaan Nama”, bukan “Surat Keterangan Ralat/Surat Pembetulan Nama” dan juga bukan “Surat Keterangan Perbubahan Nama” Surat Perbedaan Nama ini jelas tidak melanggar peraturan perundangan, karena surat tersebut tidak meralat, tidak membetulkan, dan juga tidak mengubah data akta nikah.

Hanya saja, yang menjadi persoalan adalah Kantor Imigrasi dan juga Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tidak mau menerima surat berbentuk “Surat Perbedaan Nama” tersebut. Mereka meminta surat yang berbentuk “Surat Keterangan Ralat/Surat Pembetulan Nama” atau “Surat Keterangan Perbubahan Nama” tanpa melalui sidang pengadilan. Untuk itu solusi terakhirnya adalah Kantor Kementerian Agama perlu melakukan koordinasi dengan Kantor Imigrasi dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tentang cukupnya dokumen berbentuk “Surat Perbedaan Nama”.

3. Pelaksanaan Bimbingan Kelompok Manasik Haji Tingkat Kecamatan
Persoalan krusial yang sering muncul terkait dengan pelaksanaan Bimbingan Kelompok Manasik Haji Tingkat Kecamatan ini di antaranya adalah:
a. Lambatnya pencairan dana operasional manasik haji. Hal ini berimplikasi kepada pelaksanaan Bimbingan Kelompok Manasik Haji menjadi mundur, bahkan bisa jadi pelaksanaannya pada bulan puasa. Padahal, jamaah-jamaah calon haji yang yang bersangkutan sudah banyak yang mengikuti bimbingan manasik haji di KBIH-KBIH. Konsekuensinya Bimbingan Kelompok Manasik Haji di Kecamatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah ini tidak begitu banyak yang menghadiri dan bagi mereka hanya berfungsi sebagai pelengkap saja; Solusi: perlu tetap diupayakan sedini mungkin pencairan dana penyelenggaraan Bimbingan Kelompok Manasik Haji Tingkat Kecamatan ini.

b. Minimnya sarana prasarana penyelenggaraan Bimbingan Kelompok Manasik Haji di Kecamatan. Misalnya tidak adanya alat peraga miniatur ka’bah dan peraga-peraga lainnya yang bisa berfungsi untuk memberikan gambaran umum lokasi Mekah, tempat pelaksanaan ibadah haji. Selain itu, tidak kalah pentingnya adalah belum adanya LCD Proyektor sebagai alat untuk menyampaikan materi manasik haji. Saat sekarang ini adalah era multimedia. Oleh karena itu, sangatlah perlu pengadaan LCD Proyektor tersebut untuk menunjang penyampaian materi dan menarik peserta manasik. Solusi: perlu peningkatan anggaran DIPA untuk pengadaan perlengkapan multi media dan pelatihan bagi penyelenggara dan pemateri manasik haji.

c. Kekurangsiapan bekal manasik haji bagi jamaah calon haji yang masuk kategori pelunasan tahap II. Pada tahun-tahun sebelumnya jamaah haji yang masuk kategori pelunasan tahap II ini tidak sempat mengikuti Bimbingan Kelompok Manasik Haji karena kepastian keberangkatannya baru diketahui setelah penyelenggaraan Bimbingan Kelompok Manasik Haji telah usai. Solusinya adalah perlu diadakan Bimbingan Kelompok Manasik Haji khusus bagi mereka yang masuk kategori pelunasan tahap II ini. Penyelenggaraannya bisa digabung menjadi tiga kelompok, yakni: wilayah Sleman Timur, Sleman Tengah, dan Sleman Barat. Penggabungan dan pemilahan perwilayah ini dengan mengingat jumlah, jarak, efiseiensi, dan efektifitas pelaksanaan.

d. Masih banyaknya kepala KUA yang belum pernah menunaikan ibadah haji sehingga mereka belum mempunyai pengalaman riil sebagai penyelenggara Bimbingan Kelompok Manasik Haji di Kecamatan. Tentu hal ini akan berimplikasi kepada kualitas dan tingkat keberhasilan penyelenggaraan Bimbingan Kelompok Manasik Haji Tingkat Kecamatan.

Solusi:
1) Kepala KUA diberi kesempatan dan fasilitas untuk bisa menunaikan ibadah haji secara bertahap; atau
2) Ada kuota Tim Pemandu Haji Indonesia (TPHI) khusus dari unsur Kepala KUA dan jumlahnya ditingkatkan secara signifikan;
3) Perlu ada regulasi yang mengatur bahwa seseorang hanya bisa menjadi TPHI (Tim Pemandu Haji Indonesia), TPIHI (Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia), TPHD (Tim Pemandu Haji Daerah), dan TPKD (Tim Pemandu Kesehatan Daerah) paling banyak 2 (dua) kali seumur hidup.

D. Kesimpulan
Setelah melakukan uraian sederhana, maka ditemukan beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Ada tiga persoalan krusial yang terjadi dalam penyelenggaraan ibadah haji di daerah, yaitu:
a. Prosedur dan alur pendaftaran haji masih berbelit;
b. Terjadi ketidak kesepahaman antara Kantor Urusan Agama dan Kantor Imigrasi tentang persyaratan penerbitan pasport (terutama keharusan melampirkan buku nikah/duplikatnya dan ketika terjadi perbedaan data antara buku nikah dan KTP/KK)
c. Kurang optimalnya pelaksanaan Bimbingan Kelompok Manasik Haji Tingkat Kecamatan karena kurangnya sarana dan prasarana yang memadai dan Sumber Daya Manusia (Kepala KUA) dalam hal pengalaman ibadah haji di tanah suci.

2. Solusi yang ditawarkan:
a. Perlu didukung dan ditindaklajuti dengan regulasi tentang Program One Stop Services yang dicanangkan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
b. Perlu dijalin komunikasi dan kesepahaman antara KUA dan Kantor Imigrasi tentang persyaratan penerbitan pasport.
c. Perlu peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana bimbingan manasik haji dan SDM (Kepala KUA) dalam hal pengalaman ibadah haji di tanah suci dengan adanya regulasi baru yang mengatur tentang petugas TPHI, TPIHI, TPHD, dan TPKD paling banyak bertugas 2 kali seumur hidup.
Diberdayakan oleh Blogger.