Kalasan Kecamatan Layak Anak (KLA)
Pada Selasa, 09 Desember 2014 Kecamatan Kalasan menanggapi Tim Evaluasi dan Verifikasi KLA (Kecamatan Layak Anak) Kabupaten Sleman. Sebelum menanggapi Tim Evaluasi dan Verifikasi KLA, Tim Gugus KLA Kecamatan Kalasan terlebih dahulu melakukan koordinasi dan konsolidasi pelaksanaan program Kalasan sebagai Kecamatan Layak Anak. Kepala KUA Kecamatan Kalasan, Eko Mardiono, S.Ag., MSI., termasuk salah satu anggota Tim Gugus KLA Kecamatan Kalasan.
Kepala Seksi Kesejahteraan Masyarakat, Gunardi, S.IP., menyampaikan bahwa pertemuan di pendopo Kantor Kecamatan Kalasan tersebut mengagendakan dua kegiatan pokok. Pertama: kegiatan pertemuan Tim Gugus KLA Kecamatan Kalasan. Kedua: Kegiatan Menanggapi Tim Evaluasi dan Verifikasi KLA Kabupaten Sleman.
Sekretaris Kantor Kecamatan Kalasan, Wahid Basroni, S.IP., MM., menegaskan bahwa suatu kecamatan diyatakan layak anak apabila telah memenuhi 92 (sembilan puluh dua) indikator KLA. Sembilan puluh dua (92) indikator KLA tersebut terangkum dalam 7 (tujuh) klaster. Pertama: Klaster Komitmen Wilayah; Kedua: Klaster Hak Sipil dan Kebebasan; Ketiga: Klaster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif; Keempat: Klaster Hak Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan; Kelima: Klaster Pendidikan Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Seni Budaya; Keenam: Hak Perlindungan Khusus; Ketujuh: Sarana dan Prasarana. Sekretaris Kecamatan Kalasan ini lebih lanjut memaparkan bahwa pengisian indikator KLA harus didukung data dan foto. Pada tahun 2013 yang lalu kecamatan Kalasan sudah masuk Lima Besar KLA Kabupaten Sleman.
Sementara itu, Eko Mardiono, S.Ag., MSI., kepala KUA Kecamatan Kalasan, menyampaikan bahwa Kantor Urusan Agama Kecamatan Kalasan dapat berperan aktif dalam kegiatan Program KLA, terutama Klaster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Anak. Misalnya: (1) indikator yang berupa: Jumlah Kader yang Terlibat Aktif dalam Memberikan Pendampingan dan Penyuluhan Keluarga. (2) Indikator Jumlah Anak yang Mengalami KTD (Kehamilan Tidak Dikehendaki). (3) Indikator Jumlah Anak yang Menikah di bawah usia 18 (delapan belas) tahun, dan. (4) Adanya Lembaga Konsultasi bagi Orangtua/Keluarga tentang Pengasuhan dan Perawatan Anak.
Secara kritis, Eko Mardiono menegaskan bahwa terjadi kerancuan antara ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut UU Perkawinan, seorang anak perempuan yang berumur 16 tahun sudah diperbolehkan melangsungkan perkawinan. Sedangkan menurut UU Perlindungan Anak, seseorang yang berumur di bawah 18 tahun masih masuk kategori anak. Oleh karenanya, mereka tidak diperkenankan melangsungkan perkawinan. Dalam perspektif UU Perlindungan Anak ini, maka UU Perkawinan dapat dikatakan masih melegalkan Perkawinan Anak. Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi regulatif, demikian, Eko Mardiono.