Hak dan Kewajiban Suami Istri
Oleh : R. Agung Nugraha
Setelah ijab dan qobul terucap, seorang pria dan seorang wanita telah sah menjadi pasangan suami istri. senyampang dengan itu, dengan dicatat didalam akta nikah, maka pernikahan itu telah mempunyai kekuatan hukum dan berlaku pula hak dan kewajiban, baik selaku suami maupun istri.
Apabila masing-masing pihak memahami serta memenuhi hak dan kewajibannya, keluarga yang bahagia tentu akan terwujud.
Persoalannya, tidak sedikit pasangan suami istri yang belum sepenuhnya memahami hak dan kewajibannya sehingga mampu memposisikan diri sebagaimana mestinya. Dalam kondisi demikian potensi konflik didalam keluarga menjadi terbuka.
Atas realitas demikian, semestinya setiap orang yang hendak menikah telah memahami hak dan kewajiban suami istri didalam keluarga.
Diantara penjelasan tentang hak dan kewajiban suami istri ialah firman Allah dalam Qs. Al Baqoroh (2) : 233 :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ
لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا
وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ
مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ
تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا
آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya :
"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan"
Dari ayat diatas, ada beberapa catatan penting terkait hak dan kewajiban suami istri, antara lain :
Kewajiban mendidik anak dan keutamaan
ibu menyusui anak hingga 2 tahun.
Menyusui disini tidak boleh hanya dipahami secara fisik lahiriyah. lebih dari itu aktifitas menyusui mengandung banyak hikmah berupa sentuhan, dekapan, kasih sayang dan kedekatan emosi antara ibu dan anak. Dalam aktifitas menyusui itu juga ibu dapat memberikan nilai-nilai, melatih bicara sehingga mampu memberikan andil terhadap kecerdasan dan kematangan emosi anak. Sudah terbukti ASI tidak tergantikan oleh
apapun dan tidak juga dapat digantikan oleh ayah. Maka mengurus anak dan rumahtangga menjadi tanggungjawab pokok seorang istri.
Dengan demikian, kewajiban pokok istri adalah pendidikan anak dan rumahtangga. Boleh “keluar rumah” sejauh
tugas - tugas pokok tidak terabaikan.
Kewajiban Ayah memberikan nafkah, sandang dan papan
Kewajiban pokok seorang suami adalah memberikan nafkah (pangan) dan perlindungan (sandang dan papan) sesuai kemampuan maksimal yang dia upayakan. Tidak sepantasnya seorang suami mengandalkan nafkah keluarga dari istrinya. Kalaulah istri bekerja atau berusaha dan mendapatkan uang untuk keluarga, maka itu harus dipahami sebagai peran pembantuan istri untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tanggungjawab tetaplah ada pada seorang suami.
Dengan demikian, ketika seseorang telah berani menikah/berumahtangga, ia harus mempunyai kesadaran dan tanggungjawab terhadap kewajiban ini. Bila ini diabaikan, maka hilanglah fungsi "qawwamuuna 'alan nisa" seorang laki-laki.
Dalam ayat diatas, kita juga mengetahui adanya kebolehan menyapih masa susuan sebelum dua tahun dengan musyawarah suami istri, serta kebolehan menyusukan anak kepada orang lain.
Konsekwensi menyusukan anak kepada orang lain ialah perintah untuk memberikan imbalan secara patut dan munculnya hubungan persusuan (rodho’ah) yang menyebabkan terjadinya halangan
nikah. (ran)